1. Jalur
Promosi
Kesempatan untuk maju di dalam
organisasi sering disebut sebagai promosi (naik pangkat). Suatu promosi berarti
perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang mempunyai status dan
tanggung jawab yang cenderung lebih tinggi. Jalur promosi merupakan sebuah
gambaran struktur tingkatan jabatan. Lebih sederhananya lagi diartikan sebagai
sebuah pertanyaan yaitu “selanjutnya jabatan apa yang levelnya lebih tinggi
dari jabatan ini?”.
Pada umumnya, jalur promosi terbatas
pada suatu departemen atau bagian saja. Jadi, misalnya seorang pejabat di
bagian produksi, maksimum hanya bisa naik pangkat sampai direktur produksi.
Perencanaan jalur promosi akan lebih jelas apabila digambarkan melalui suatu
bagan.
2. Dasar-dasar
Promosi
Menurut Martoyo (1994:65-66) “Umumnya
terdapat dua dasar untuk mempromosikan seseorang, yakni:a) kecakapan kerja
(merit);b) senioritas. Bagi penentu kebijaksanaan dalam suatu organisasi
tentunya lebih cenderung menggunakan kecakapan kerja atau merit tersebut
sebagai dasar suatu promosi. Sebab kompensasi yang baik adal
ah dasar untuk kemajuan seseorang.
Namun, bagi umumnya anggota organisasi atau pegawai lebih cenderung pada
senioritas. Sebab umumnya mereka berpendapat bahwa dengan makin lama masa kerja
pegawai, kecakapan mereka akan menjadi lebih baik. Mereka pada umumnya
menganggap bahwa dasae kecakapan kerja tersebut masih mengandung judgement,
sehingga dianggap masih belum objektif. Namun ternyata, tidaklah semudah yang
diduga untuk mengukur objektivitas promosi tersebut.” Berdasarkan uraian
tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa kasus tertentu terdapat pegawai senior
yang dipromosikan terlebih dahulu. Pegawai senior disini dimaksudkan pegawai
yang mempunyai masa kerja paling lama diorganisasi tersebut. Keuntungan sistem
senioritas tersebut, adalah adanya prinsip objektivitas. Pegawai yang akan
dipromosikan, ditentukan berdasarkan catatan senioritas yang ada diorganisasi.
Walaupun organisasi telah secara tegas
dan jelas mencantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dan melaksanakannya
ketentuan untuk promosi tersebut sebaik-baiknya, tetapi kemungkinan terjadi
kesalahan atau kekeliruan dapat saja terjadi, bila kandidat tersebut pandai
dalam mendekati atasan. Dalam kaitan ini berarti kemungkinan pertimbangan bakat
dan kemampuan dapat terkalahkan, sehingga didapatkan pejabat yang promosi
tersebut kurang bias diterima oleh semua pihak.
Dengan demikian, tidak ada jaminan
penuh bahwa pegawai yang dipromosikan benar-benar memenuhi harapan organisasi.
Oleh karena itu, suatu analisis yang matang mengenai potensi pegawai yang
bersangkutan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Analisis yang demikian
menjadi semakin penting apabila dikaitkan dengan das sains (senyatanya) bahwa
kecakapan kerja atau kemampuan kerja setiap pegawai adalah terbatas. Artinta
tidak mustahil bahwa seseorang pegawai menunjukkan prestasi kerja tinggi pada
pekerjaan dan posisinya sekarang, tetapi karena sebenarnya yang bersangkutan
sudah mencapai puncak kompetensinya, tidak lagi mampu berprestasi hebat pada
posisi yang lebih tinggi. Dalam hal demikian mempromosikan seseorang akan
membawa kerugian, bukan hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga bagi
organisasi.
3. Kecakapan
Kerja “versus” Senioritas
Berbagai argumentasi tentang kebaikan
kecakapan kerja mupun senioritas sering tidak bisa diputuskan untuk memilih
mana yang lebih baik. Misalnya, memang diakui bahwa semakin lama seorang
bekerja pada suatu organisasi, semakin berpengalaman dia. Namun, kecakapannya akan selalu meningkat ?
masalah seperti ini menjadi lebih sulit, apabila organisasi dihadapkan pada
suatu situasi sehingga memerlukan perubahan (perubahan cara kerja, organisasi
atau hubungan kerja). Mereka yang lebih senior sering justru sulit untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Mereka sudah terlampau terbiasa
dengan cara kerja lama, misalnya, sehingga sulit memahami cara kerja baru.
Sebaliknya penggunaan dasar kecakapan
kerja akan menjamin bahwa hanya mereka yang cakaplah yang bisa dipromosikan.
Masalahnya adalah siapa yang menentukan kecakapan ini ? Bukankah penentuan
kecakapan kerja bagaimanapun merupakan suatu penilaian, yang tidak akan luput
dari kesalahan maupun subyektifitas ? Pada umumnya, karyawan khawatir kalau
terjadi masalah “like” dan “dislike” dalam penilaian ini. Karena itu, di dalam
penentuan dasar untuk promosi sering digunakan suatu kompromi antara dasar
kecakapan kerja dan senioritas ini. Komprominya bisa dinyatakan misalnya dengan
: apabila ada para pejabat yang mempunyai kecakapan yang sama, maka pejabat yang
lebih seniorlah yang akan dipromosikan. Atau, apabila ada dua pejabat yang
mempunyai senioritas yang sama, maka pejabat yang lebih cakaplah yang akan
dipromosikan.
Meskipun demikian cara ini juga
mengandung masalah, seperti misalnya, bagaimana kalau karyawan A lebih senior
daripada B, tetapi kalah cakap dibandingkan dengan B. Siapa yang akan
dipromosikan ? Demikian pula sebaliknya. Untuk mengatasi hal ini, biasanya
ditentukanlah persyaratan minimum baik untuk senioritas maupun untuk kecakapan
kerja. Jadi misalnya, untuk dipromosikan ke jabatan X, minimum kecakapan
kerjanya adalah P “point”. Dengan demikian apabila ada dua orang karyawan yang
sama-sama bisa mencapai p point tersebut, maka karyawan yang lebih seniorlah
yang akan dipromosikan.
Bentuk kompromi untuk dasar kenaikan
pangkat, bisa tidak hanya menyangkut masalah kecakapan kerja dan senioritas
saja. Misalnya, untuk tenaga-tenaga pengajar di perguruan tinggi digunakan
berbagai dasar yaitu; di samping masa kerja, adalah bidang pendidikan dan pengajaran,
publikasi ilmiah, pengabdian kepada masyarakat, loyalitas pada Universitas dan
kegiatan lain-lain. Jadi di sini Nampak bahwa prestasi kerja dijabarkan dalam
berbagai faktor yang lebih terperinci. Di samping kompromi untuk dasar kenaikan
pangkat, penggunaan dasar kecakapan kerja dan senioritas juga digunakan dalam
merancang struktur upah. Kompromi antara kedua dasar tersebut bisa dilihat
dalam gambar ini.
Untuk gambar a,
ditunjukkan bahwa senioritas menjadi dasar pengupahannya, baru ditambah dengan
kecakapan untuk bisa mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Sedangkan gambar b
menunjukkan bahwa untuk jabatan-jabatan yang hanya memerlukan keterampilan
rendah penggajiannya didasarkan atas senioritas, sedangkan untuk keterampilan
tinggi, didasarkan atas kecakapannya.
4. Demosi
Demosi
adalah penurunan jabatan dalam suatu instansi yang biasa dikarenakan berbagai
hal. Dapat dipastikan tidak ada seorang pegawai pun yang senang mengalami hal
ini. Pada umumnya demosi dikaitkan dengan pengenaan suatu sanksi disiplin
karena berbagai alasan, seperti :
a. Penilaian
negatif oleh atasan karena prestasi kerja yang tidak/kurang memuaskan
b. Perilaku
pegawai yang disfungsional, seperti tingkat kemangkiran yang tinggi
Situasi lain yang ada kalanya berakibat pada demosi karyawan
ialah apabila kegiatan organisasi menurun, baik sebagai akibat faktor-faktor
internal maupun eksternal, tetapi tidak sedemikian gawatnya sehingga terpaksa
terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal demikian suatu organisasi
memberikan pilihan kepada para karyawannya yaitu, antara demosi dengan segala
akibatnya dan pemutusan hubungan kerja dengan perolehan hak-hak tertentu
seperti pesangon yang jumlahnya didasarkan atas suatu rumus tertentu yang
disepakati bersama.
5. Definisi Mutasi (Pemindahan)
Mutasi
(pemindahan) atau transfer menurut
Wahyudi (1995) adalah perpindahan pekerjaan seseorang yang memiliki tingkat
level yang sama dari posisi pekerjaan sebelum mengalami pindah kerja.
Kompensasi gaji, tugas, dan tanggung jawab yang baru adalah sama seperti
sebelumnya. Mutasi (pemindahan) atau rotasi kerja dilakukan untuk menghindari
kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas pekerjaan yang terkadang
membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai
dan mendalami pekerjaan lain dalam bidang yang berbeda di suatu perusahaan.
Pemindahan ini terkadang dapat dijadikan
sebagai tahapan awal atau batu loncatan untuk mendapatkan promosi pada waktu
mendatang. Para ahli berpendapat bahwa mutase (pemindahan) adalah proses yang
secara hukum sah dilakukan dilingkungan pemerintah.
Oleh
karena itu, mutasi harus dipahami sebagai berkah, karena dengan mutase ini,
pegawai banyak diuntungkan ketika berbicara tentang karier. Tetapi, terkadang
pada pihak yang merasa nyaman dengan jabatan dan lingkungan kerjanya, mutase
adalah siksaan, serta tidak dapat dipungkiri bahwa mutase merupakan sebuah kata
yang seram ditelinga pejabat atau staff pemerintah. Hakikatnya mutasi
(pemindahan) adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap bawahan.
A. Tujuan Mutasi (Pemindahan)
Tujuan mutasi (pemindahan)
menurut Mudjiono (2000) adalah :
1.
Meningkatkan produktivitas karyawan
2. Menciptakan
keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau jabatan
3. Memperluas
atau menambah pengetahuan karyawan
4. Menghilangkan
rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaannya
5. Memberikan
perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang lebih tinggi
6. Alat
pendorong agar spirit kerja meningkat melalui pesaingan terbuka
7. Menyesuaikan
pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan
6. Rencana Promosi dan Pemindahan
Banyak
perusahaan dalam merencanakan promosi dan pemindahan, perusahaan seperti ini
tidak dapat mempunyai pegangan / ketentuan tentang dasar-dasar promosi atau
pemindahan. Sehingga dari tahun ke tahun tidak sama ketentuannya dasar promosi
maupun pemindahan, sehingga banyak terdapat pada unsur”-unsur subjektif.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya suatu perusahaan membuat rencana yang jelas unntuk suatu promosi maupun pemindahan untuk keperluan tersebut perusahaan harus menetapkan dan membuat :
Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya suatu perusahaan membuat rencana yang jelas unntuk suatu promosi maupun pemindahan untuk keperluan tersebut perusahaan harus menetapkan dan membuat :
a. Hubungan horizontal
dan vertikal dari masing-masing jabatan
b. Penilaian kecakapan karyawan
c. Ramalan-ramalan
lowongan dan data pegawai
DAFTAR PUSTAKA
Dr. M. Kadarisman.
2012. Manajemen Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Fahmi, Irham. 2016. Pengantar Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Mitra Wacana Media
Husnan, Heidjrachman
Suad. 2000. Manajemen Personalia.
Yogyakarta: BPFE
0 komentar:
Posting Komentar