Jumat, 04 Januari 2019

BAB 11 KEPUASAN KERJA




  1. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan orang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah – masalah personalia vital lainnya.
Fungsi personalia mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung pada kepusan kerja karyawan. Seperti ditunjukan dalam gambar 1 di bawah, fungsi personalia bisa membuat kontak langsung dengan para penyediaan karyawan dengan berbagai cara untuk mempengaruhi mereka. Di samping itu, berbagai kebijaksanaan dan kegiatan personalia mempunyai dampak pada iklim organisasi. Iklim organisasional ini memberikan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi orang – orang dalam organisasi, di mana hal selanjutnya itu akan mempengaruhi kinerja karyawan.



Gambar 1
Pengaruh Fungsi Personalia Pada Kepuasan Kerja

  1. Fungsi kepuasan kerja

  1. Para karyawan yang mendapat kepuasan kerja akan melaksanakan pekerjaan dengan baik
  2. Akan mencapai kematangan psikologis dan menjadi termotivasi
  3. Mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik
  4. Berprestasi kerja lebih baik dari pada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja
  5. Menciptakan keadaan positif  dalam lingkungan karyawan

  1. Faktor-faktor penentu kepuasan kerja
Bilamana sebuah pekerjaan memuaskan? Pada suatu masa para ahli ilmu sosial menganggap jawabannya jelas: sebuah pekerjaan memuaskan jika ada keselarasan antara sifat-sifat pekerjaan dan kebutuhan-kebutuhan orang tersebut. Penelitian yang belakangan menunjukan bahwa faktor-faktor yang menentukan kepuasan lebih rumit dari itu. Yang pasti orang dan pekerjaan mereka adalah unsur pokok yang terlihat, akan tetapi jelas bahwa ada banyak variabel antara orang dan pekerjaan mereka yang membantu menentukan apakah hubungan memuaskan atau tidak. Apakah saya puas pada pekerjaan saya tergantung pada:
       Pengharapan
Jika saya mengharapkan pekerjaan saya menantang (atau baik bayarannya), dan ternyata tidak, saya tidak puas. Tetapi bila saya mengharapkannya membosankan (atau rendah bayarannya), dan ternyata benar demikian, rasa kecewa saya mungkin hanya sedikit.
Penilaian diri
Jika saya menganggap diri saya sebagai orang yang secara umum puas (atau orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik), saya tidak akan bersedia mengakui bahwa pekerjaan dapat mengesalkan saya. Jika saya mempunyai watak yang secara umum periang, ini akan tercermin dalam sikap saya terhadap pekerjaan.
       Norma-norma sosial
Kalau orang-orang lain, terutama orang yang saya hormati, menganggap pekerjaan saya baik atau saya seharusnya merasa puas atas pekerjaan tersebut atau jika orang mengatakan pada saya bahwa apa yang saya kerjakan adalah penting, lebih besar kemungkinannya saya akan puas.
       Perbandingan-perbandingan sosial
Jika semua kawan saya mempunyai pekerjaan yang lebih menarik dari pekerjaan saya, saya akan merasa lebih tidak puas dari pada jika kami semua senasib.
       Hubungan input/output
Kepuasan terhadap pekerjaan saya tergantung pada bagaimana penilaian saya mengenai hubungan antara apa yang saya bawa atau masukkan ke dalam pekerjaan (input) dan apa yang saya peroleh (output). Jika saya bekerja keras (input) dan tidak berhasil menyelesaikan apa yang ingin saya capai (output) saya akan merasa kurang puas daripada jika saya mengeluarkan usaha yang setengah-setengah. Demikian pula, jika saya telah belajar bertahun-tahun lamanya agar memenuhi syarat untuk sebuah pekerjaan yang kemudian ternyata memberi bayaran sangat kecil, saya akan merasa kurang puas daripada seandainya saya hanya mempunyai pendidikan sedikit saja.
       Keikatan
Jika setelah memikirkan masak-masak saya memilih satu pekerjaan dari sejumlah kesempatan memilih, saya terikat suatu keikatan bebas dengannya. Saya akan merasa segan untuk mengakui bahwa pekerjaan saya tidak menguntungkan, karena dengan berbuat demikian berarti saya mengakui bahwa kemampuan saya dalam memilih kurang baik. Perasaan keterikatan saya (dan kepuasan yang dihasilkan) bisa menjadi amat kuat kalau keputusan saya diketahui oleh kawan-kawan.
       Dasar pemikiran
Jika rekan-rekan saya banyak membicarakan tentang gaji, kemungkinan besar saya akan menganggap gaji penting. Jika manajemen mengumumkan program peningkatan kerjanya, saya mungkin akan menganggap itu penting dan bingung jika program tidak sesuai dengan janjinya.

Semua faktor di atas menunjukan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah konsep yang sukar dipahami. Konsep itu berhubungan dengan keadaan dimana pertanyaan diajukan, yang mengingatkan kita pada kebiasaan yang sudah klise. “ Bagaimana istri (suami) anda? ” atau “Dibandingkan dengan apa?” Tapi ia pun berhubungan dengan arti pekerjaan, dan bahkan dengan arti hidup itu sendiri.

  1. Sejauh mana pentingnya pekerjaan yang memuaskan?
Dalam tahun-tahun terakhir ini telah terjadi perdebatan sengit mengenai apakah masyarakat Amerika sedang “berrevolusi terhadap pekerjaan”. Perdebatan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting mengenai pentingnya kepuasan kerja terutama menyangkut pekerjaan yang penuh tantangan bagi para pekerja Amerika. Berhubungan dengan pernyataan ini ada pertanyaan-pertanyaan lain, yang barangkali bahkan lebih sulit: (1) apa hubungan pekerja dan waktu santai? Dan (2) bagaimana perbedaan orang dalam orientasi dan penyesuaian mereka pada pekerjaan?

       Kebutuhan akan tantangan
Pertanyaan mengenai peranan yang dimainkan pekerjaan terutama pekerjaan yang penuh tantangan dalam kehidupan manusia bukan hanya menjadi perhatian manajemen saja, ia merupakan masalah psikologi, moral dan bahkan teologis yang banyak dipertentangkan para ahli. Tak ada jawaban yang jelas, tapi akan kami uraikan beberapa bentuk perdebatan, dan yang lain akan dibicarakan kemudian.
Alasannya: pekerjaan yang penuh tantangan adalah sangat penting.
Sebuah kelompok mengatakan bahwa manusia dewasa membutuhkan pemenuhan butuhan egois dan aktualisasi diri tingkat tinggi melalui pekerjaan mereka. Proses menjadi dewasa termasuk menerima tantangan yang semakin besar dan mengalami autonomi serta kemandirian yang lebih besar. Mereka yang tidak mengalami kesempatan-kesempatan ini (terutama, mereka yang tidak mampu mengungkapkan sesuatu secara berarti melalui pekerjaan) tak pernah mencapai kedewasaan psikologis. Karena rata-rata pekerja menghabiskan hampir sepertiga waktunya untuk bekerja kalau pekerjaan itu tidak memberi tantangan atau autonomi ia bisa mengalami frustasi yang hebat, dengan akibat-akibat yang merugikan baik bagi dirinya sendiri mau pun bagi perusahaannya.
Alasannya: pekerjaan yang penuh tantangan tidak penting.
Argumentasi tandingannya adalah bahwa banyak orang dengan mudah menyesuaikan diri pada pekerjaan yang membosankan. Mereka memusatkan kehidupan jauh dari pekerjaan, mengharapkan relatif sedikit kepuasan dari padanya, dan tidak kecewa bila pekerjaan hanya memberi mereka sedikit tantangan atau perasaan kreatif. Tentu saja dibantah, banyak orang tidak menginginkan autonomi dan tantangan tingkat tinggi pada pekerjaan, bahkan bila ada sekali pun. Mungkin mereka belum dewasa, tapi ketidakdewasaan mereka lebih banyak diakibatkan oleh lingkungan keluarga daripada pekerjaan, mereka telah belajar bergantung semenjak masa kanak-kanak dan tidak mungkin mengubahnya pada kehidupan lebih lanjut.
Ini memperlihatkan bahwa para karyawan memang menyesuaikan diri dengan cukup mudah pada pekerjaan-pekerjaan yang membosankan. Tentu saja, mungkin lebih baik bila setiap pekerjaan memberikan paling sedikit suatu kesempatan untuk aktualisasi diri. Barangkali kepuasan kerja akan lebih besar seandainya kita harus kembali pada keadaan pra-industri yang ideal seperti digambarkan pada permulaan, misalnya mobil-mobil dibuat berdasarkan kerajinan tangan bukan pada sebuah lini rakit. Akan tetapi harga yang harus dibayar untuk itu akan mencakup pelepasan efisiensi teknologi modern kita dan penurunan standar hidup dalam jumlah besar. Tidak banyak yang akan bersedia melakukannya. Begitulah jalannya argumentasi.

       Perkerjaan dan Waktu Luang
          Mungkin permasalahannya akan nampak kurang rumit jika kita melangkah ke belakang dan melihatnya dari sudut sejarah maupun kebudayaan. Ingat bahwa sikap kita sekarang terhadap perkerjaan adalah berdasarkan kebudayaan. Perkerjaan tidak selamanya penting seperti sekarang; mungkin tidak dianggap demikian pentingnya pada masa yang akan datang. Dalam abad-abad yang lalu, terutama ketika peradaban sedang tumbuh subur di Yunani dan Roma, perkerjaan tidak menduduki posisi yang mulia. Mereka yang memiliki status sosial lebih tinggi tidak diharapkan berkerja, karena perkerjaan terutama dibatasi hanya untuk para budak dan warga negara bebas yang tidak mempunyai sumber penghasilan sendiri.
          Namun, garis antara kegiatan kerja dan non-kerja sekarang ini jauh lebih tajam daripada dulu. Sebelum banyak orang berkerja jauh dari tempat tinggalnya, orang tinggal dan bermain dengan teman-teman seperkerjaan, dan seluruh rangkain tata cara serta kegiatan kegiatan lainnya cendrung menggabungkan kehidupan dan perkerjaan, keluarga ,dan masyarakat menjadi sebuah jaringan yang utuh. Pada masa itu, orang tidak terlalu merasa perlu “melarikan diri” dari perkerjaan (dan mempunyai banyak kesempatan untuk itu). Sekarang, semenjak perkerjaan dan permainan mengisi bagian yang berbeda dalam kehidupan kita, kita merasa harus memutuskan mana yang paling penting.
Orang-orang semacam ini menemukan banyak tantangan, kreativitas,  dan autonomi dalam menghidupi sebuah keluarga, mengembangkan hobby, atau mengambil bagian dalam urusan-urusan masyarakat.
Telah diramalkan bahwa perkerjaan akan menjadi semakin rutin dan makin lama makin sedikit memberi kesempatan bagi kreativitas dan kebijaksanaan. Sebaliknya, dengan semakin singkatnya jam kerja akan ada “dedikasi baru” pada diversifitas dan individualisme di luar perkerjaan .... Waktu senggang akan merupakan tempat perburuaan yang menggembirakan bagi jiwa yang mandiri.^24
Dari ramalan-ramalan semacam itu, sementara orang menyimpulkan bahwa mungkin penggunaan yang paling baik dar sumber-sumber daya kita adalah untuk mempercepat automatisasi, kepuasan-kepuasan pada perkerjaan pada perkerjaan, dari mengkonsentrasikan enerji kita untuk membuat waktu senggang menjadi lebih berarti. Pasti ada diantara kita yang yakin bahwa tentu ada hal-hal yang lebih “relavan“dan “berarti” untuk dilakukan dalam hidup seseorang daripada menghabiskan waktu delapan jam sehari didalam pabrik atau kantor.
Yang lain membantah bahwa adalah tidak mungkin mengkotak-kotakan kegiatan-kegiatan kerja dan waktu senggang dan bahwa kegiatan waktu senggang dapat menggantikan apa yang tidak ada ada pada perkerjaan. Salah satu kebiasaan-kebiasaan waktu senggang, dan bahwa mereka yang mempunyai perkerjaan yang rutin cendrung untuk tidak terlibat dalam jenis-jenis rekreasi yang rutin dan pasif.^25

  1. Hubungan Kepuasan Kerja

       Hubungan Antara Prestasi dan Kepuasan Kerja

Gambar 2
Umpan Balik pada hubungan antara prestasi kerja dan kepuasan kerja
Menurut Strauss dan Sayles,1) kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. 

Karyawan sperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosinya tidak stabil, sering absen dan sering melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja bisanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan ( kadang – kadang) berprestasi kerja lebih baik dari pada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. 2) Oleh karena itu, kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan.

       Hubungan Kepuasan Kerja, Perputaran karyawan dan absensi


Meskipun hanya merupakan salah satu sektor dari banyak pengaruh lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi. Seperti terlihat pada gambar bahwa kepuasan kerja yang lebih rendah biasanya akan mengakibatkan perputaran karyawan lebih tinggi. Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan lain. Hubungan serupa berlaku juga untuk absensi. Para karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen. Mereka sering tidak merancakan untuk absen, tetapi bila ada berbagai alasan untuk absen , untuk mereka lebih mudah menggunakan alasan – alasan tersebut.

       Hubungan Kepuasan kerja, Umur dan Jenjang Pekerjaan



Gambar 3.3
Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Umur dan Jenjang Pekerjaan
Semakin tua umur karyawan, mereka cenderung lebih lebih terpuaskan dengan pekerjaan – pekerjaan meraka. Ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi kepuasan kerja mereka, seperti pengharapan – pengharapan yang lebih rendah dan penyesuaian – penyesuaian lebih baik terhadap situasi kerja karena mereka lebih berpengalaman. Para karyawan yang lebih muda, di lain pihak cenderung kurang terpuaskan, karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi, kurang penyesuaian dan penyebab lainnya. Tentu saja ada pengecualian, tetapi banyak studi yang membuktikan bahwa kepuasan kerja yang tinggi dipengaruhi oleh umur, seperti dijelaskan pada gambar 3.3 diatas.
Gambar ini menunjukan bahwa orang – orang dengan jenjang pekerjaan lebih tinggi cenderung lebih lebih mendapatkan kepuasan kerja. Mereka biasanya memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan pekerjaan – pekerjaan mereka memungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka punyai, sehingga mereka mempunyai alasan – alasan untuk lebih terpuaskan. Sebagai contoh dalam praktek karyawan trampil cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar dari pada karywan tidak trampil.

Sumber penulisan : 
T. Hani Handoko, 2002, Manajemen Personalia dan Sumber daya manusia.Yogyakarta:BPFE.
George Strauss dan Leonard Sayles, buku Manajemen personalia segi manusia dalam organisasi





0 komentar:

Posting Komentar